KATA
PENGANTAR
Puji syukur
penulis haturkan atas terselesaikannya karya tulis dalalm bentuk makalah yang
khusus mengulas tentang Hak-Hak dan Perjanjian-Perjanjian Warga Kerajaan
Pada Naskah Bo Sangaji Kai dalam mata kuliah Hukum Adat. Dalam karya tulis ini, Penulis mengulas tentang Apa saja perjanjian yang dilakukan oleh
raja-raja Bima dalam Naskah Bo' Sangaji kai dan
bagaimana memperjuangkan hak-hak para warga masyarakat adat Bima pada zaman
kerajaan Bima. Untuk penyusunan karya tulis ini, Penulis banyak mendapat
masukan dari pihak-pihak yang turut berkecimpung dalam proses penyusunan
laporan. Untuk itu penulis haturkan banyak terimakasih di antaranya kepada :
1. Dosen pengampu bidang mata
kuliah Hukum Adat
2. Orang tua mahasiswi yang turut mendukung dalam proses kegiatan
belajar
3. Para sahabat sekalian yang turut membantu dalam penyusunan karya
tulis ini
4.
Dan para pembaca sekalian yang
telah berkenan mengoreksi, memberikan kritik dan saran terhadap karya tulis
ini.
Penulis
menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mohon maaf jika ada kesalahan kata ataupun kekurangan dalam tata bahasa dan
penulisan. Kami mohon kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi terciptanya
karya tulis yang jauh lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga karya tulis ini
dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya.
TERIMAKASIH
Mataram, 27
Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman judul……………………………………………………………........................................... i
Kata pengantar …………………………………………………………........................................... 1
Daftar Isi …………………………………………………………………............................................. 2
BAB I :
PENDAHULUAN
A.Latar belakang......................................................................... 3
B. Rumusan Masalah................................................................... 5
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Perjanjian-Perjanjian Raja Bima dalam
Naskah Bo’ Sangaji Kai. 6
1.
Perjanjian Raja Manuru Salisi dengan orang Belanda......... 6
2.
Perjanjian Raja Bima dengan Raja Dompu......................... 7
3.
Perjanjian Tureli Nggampo dengan Admiral Truitmen........ 8
4.
Perjanjian dengan Seluruh Pegawai Negeri....................... 10
5.
Perjanjian dengan Raja Balanipa....................................... 10
6.
Perjanjian dengan 26 orang Bajo...................................... 11
7.
Perjanjian di Oi Ule.......................................................... 11
8.
Perjanjian Janeli Parado dengan Jendral Man Sekor.......... 12
B.
Hak-Hak Para Warga Kerajaan Pada Naskah Bo’ Sangaji Kai...... 13
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bo'
Sangaji Kai, yaitu "Buku catatan
raja-raja Bima atau buku catatan sejarah yang ditulis di istana Sultan dan di
rumah beberapa pembesar (Bo' Bicara Kai, Bo' Bumi Luma. dll". Buku
itu merupakan dokumen arsip sejarah Kerajaan Bima yang terpenting, di antara
berbagai jenis Bo' yang lain. Tradisi penulisan buku jenis itu diwarisi Bima dari
Sulawesi Selatan. Di daerah berbahasa Bugis dan Makasar pada masa lalu, dikenal
sebuah tradisi historiografi yang khas berupa lontara bilang, yakni
buku-buku catatan yang sangat terperinci yang ditulis di istana Raja atau di
rumah beberapa pembesar.[1]
Menurut ingatan orang Bima kini, tradisi
menulis Bo' dimulai oleh perdana menteri Tureli Nggampo Makapiri Solo,
setelah mempelajari sistim pemerintahan Kerajaan Goa dan Luwu'. Mula-mula Bo' ditulis dalam bahasa dan
aksara kuno Bima di atas daun lontar. Kemudian pada tanggal, 15 Muharram 1055
(yaitu 13 Maret 1645), Sultan Abi'l Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo'
selanjutnya ditulis di atas kertas "dengan memakai bahasa Melayu dengan
rupa tulisan yang diridhai Allah taala". Kita sebenarnya tidak mempunyai
contoh dari Bo' dalam bahasa Bima ataupun dari naskah bertulisan aksara
Bima kuno. Semua Bo' yang kini masih ada tertulis dalam bahasa Melayu.
Kata Bo' sendiri berasal dari kata Belanda boek dan boleh
diperkirakan baru masuk bahasa Mbojo pada akhir abad ke-17.[2]
Isi Bo' menggambarkan sebuah kerajaan yang sangat teratur tata
peemerintahannya serta luas hubungan luarnya. Hal
ini disebabkan karena Kerajaan Bima telah berdiri dan berkembang lama sebelum
masa yang diliputi oleh Bo', dan sempat mengembangkan sebuah pola
politik dan budaya yang canggih berkat kemakmuran yang dihasilkan oleh
perniagaan.[3]
Bima terletak
di tengah-tengah jalur maritim yang melintasi Kepulauan Indonesia, sehingga
menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari Malaka ke
Maluku. Sejumlah peninggalan dan prasasti serta beberapa kutipan dari teks jawa
kuna seperti Nagarakertagama dan pararaton membuktikan bahwa
pelabuhan Bima telah disinggahi sekitar abad ke-10. Waktu orang Portugis mulai
menjelajahi kepulauan Nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang
berarti. Pada dasawarsa kedua abad ke 16, Tome Pires menggambarkan Bima sebagai
berikut: "Pulau Bima adalah pulau yang diperintah oleh seorang Raja
kafir".[4]
Menurut
tradisi setempat, Raja Bima yang pertama memeluk agama Islam dan mengambil nama
Sultan Abdul Kahir dididik dalam agama
baru oleh dua orang mubalig dari sumatra, yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri
Tiro. Datuk ri Bandang, yang juga terkenal dengan nama Khatib Tunggal, disebut
dalam beberapa legenda di kawasan ini sebagai mubalig yang mengislamkan
raja-raja lima kerajaan, yaitu Goa, Wajo', Kutai, Gantarang (di Pulau Selayar),
dan Bima (lih. Chambert-Loir 1985a). Ketika pulang ke Makassar, Datuk ri
Bandang menyuruh anaknya (atau cucunya) untuk mengajari masyarakat Bima dalam
agama. Menurut Bo' Sangaji Kai (Naskah: § Held B)[5], Sultan kedua menganugerahkan hak istimewa kepada golongan orang
Melayu di Bima sebagai guru agama.[6]
Sultan Abdul Kahir meninggal pada tahun 1640
dan diganti di atas takhta kerajaan oleh anak yang diperolehnya dari
perkawinannya dengan putri Makassar. Sultan baru digelarkan dengan nama
Abi'l Khair Sirajuddin dan memerintah
selama 42 tahun. Namun, ketika diangkat sebagai Sultan dia baru berumur 11
tahun, sehingga pasti tidak memerintah langsung tetapi diwakili oleh Raja
Bicara. Periode pemerintahan Sultan Abi'l Khair Sirajuddin adalah masa perang
Makassar melawan Belanda (tahun 1650-an dan 1660-an), yang berakhir dengan
kekalahan Makassar dan perjanjian Bongaya (18 November 1667). Sultan Abi'l
Khair, yang telah menjadi menantu Sultan Goa, tentu saja memihak kepada Goa dan
ikut berperang diperairan Buton dan
Makassar. Waktu melarikan diri lewat Mandar pada tahun 1667, dia
mengikat persaudaraan dengan Raja Mandar (Nskh: 40).
Untuk lebih jelasnya, penulis akan
menjelaskan berbagai perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh Raja Bima, yang
dikutip dalam Naskah Bo' Sangaji Kai yang menjadi bahan permasalahan di dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
- Apa saja perjanjian yang dilakukan oleh raja-raja Bima dalam Naskah Bo' Sangaji kai?
- Dan bagaimana memperjuangkan hak-hak para warga masyarakat adat Bima pada zaman kerajaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perjanjian-perjanjian Raja Bima dalam Naskah Bo' Sangaji Kai
Adapun perjanjian Raja Bima yang dikutip di
dalam Naskah Bo' Sangaj Kai dapat penulis paparkan sebagai berikut:
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita kerajaan atas
tanah Bima digelarkan Rumata Manuru Salisi dengan anak Wolanda[8] di dusun yang bernama Cenggu pada masa
bersalahan anak Wolanda dengan orang Paringgi. Tetapi pada masa itu negeri Bima
belum ia masuk agama Islam.
Maka pada zaman itu ada sebuah kapal Peringgi yang ada dalam labuan negeri
Sape. Maka kedengaranlah anak Wolanda yang ada masuk di dalam Kuala Belo[9] adanya orang Peringgi di labuan Sape itu.
Maka pergilah ia anak Wolanda itu lalu dilanggarkannya orang Paringgi itu maka
dialahkanyalah kapal peringgi itu. Dalam pada itu pun ada sampan Peringgi itu
yang melepaskan dirinya setengah. Maka ia lalu lari di Sanggar maka bertemulah
dengan temannya satu kapal Peringgi pula. Maka didengarnya oleh Peringgi itu
ada temannya anak Wolanda mengalahkan dia yang lagi ada tinggal dalam sungai
Belo. Maka didatankanlah anak Wolanda yang ada dalam Sungai Negeri Belo itu, dan didapatinya anak
Wolanda oleh peringgi itu, kemudian dibunuhnya anak Wolanda oleh Peringgi.
Maka didengar oleh Yang Dipertuan Kita Raja Bima lalu ditolongnya anak
Wolanda itu. Maka didapatinya orang Paringgi itu oleh Raja Bima lalu dibunuhnya
dan diikat barang dua tiga orang. Maka
orang Peringgi setengah lalu lari berlayar kembali. Kemudian dari itu anak Wolanda yang
dibunuhnya oleh Peringgi itu tinggal lagi lima orang yang hidup.
Hatta maka berapa lamanya maka datang pula kapal Wolanda yang dari Sape
mendapatkan temannya yang di Belo itu. Maka ia mendapat kesusahan yang
disebabkan mati temannya serta rupanya seolah-olah tiada percaya pada Raja
Bima. Maka pada masa itu berbicaralah ia dengan Raja Bima. Di dalam itu pun
maka dikabrkannyalah segala hal-ihwalnya daripada asal mulanya datang kepada
kesudahan oleh temannya sendiri lima orang itu.
Maka bermufaktlah, baik Raja Bima dengan anak Wolanda serta ia berjanji dan
bersumpah mengatakan sekarang ia anak Wolanda dengan anak Bima bersaudara dan
bersahabat pada masa ini sampai kepada anak cucu Wolanda dengan anak cucu orang
Bima tolong menolong barang sesuatu meski di mana-mana daripada awalnya datang
kepada akhirnya. Jikalau ia bertemu, mana adat orang bersaudara dan bersahabat
dan berkasih-kasihan itulah yang dipegang dan dikerjakan oleh kedua pihak itu.
Serta ia minum arak pada satu tempurung serta ia memenggal anjing seekor dan
mengerat benang atau bisa[10] akan tanda diteguhinya perjanjiannya dengan
persumpahannya itu, dihadap[11] oleh segala raja-raja dan orang besar-besar
dalam Tanah Bima dan sekalian orang tua atau muda tatkala berjanji dan
bersumpah itu, demikianlah adanya.
2.
Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Khair Sirajuddin) dengan Raja Dompu di
Raba Karumbu.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian di Raba Karumbu pada hari Kamis waktu
duha, sembilan hari bulan Rajab tahun Dalawal, tatkala itulah duduk berhimpun
sama-sama Yang Dipertuan Kita Raja Bima[12] dengan Raja Dompu dan segala janeli tureli
Bima, dan segala (hlm.40) jeneli tureli di Dompu. Dan segala-segala
bumi-bumi, jena-jena, dan segala orang tua dalam negeri Bima dan dalam negeri
Dompu pada Raba Karumbu namanya.
Pada masa itulah berbicara memutuskan hukum pada hal segala hamba orang
Bima yang pergi di Dompu dan hamba orang Dompu yang pergi ke Bima, itulah yang
telah dimufakatkan oleh raja yang kedua pihak itu, mengatakan jikalau ada hamba
orang Bima yang pergi di Dompu atau hamba orang Dompu yang pergi di Bima, lain
daripada yang telah mati dan telah dijual[13] itulah itulah yang tiada dikembalikan
olehnya. Sebermula hamba yang dikembalikan itu jikalau ada hutangnya sekalipun,
tiada dapat disebut olehnya sebab hutang atau sebab makanan atau barang sesuatu
hal jua pun oleh kedua pihak itu. Tetapi hamba yang dikembalikan itu, jika ia
beranak dengan orang Dompu atau hamba orang Dompu beranak dengan orang Bima,
mau laki-laki atau pun perempuan hamba itu, jikalau ia laki dalam Bima maka ia
menjadi orang Bima, dan jika ia laki dalam Dompu maka ia menjadi orang Dompu
anak itu, lain daripada anak sama orang Bima dan sama orang Dompu.
Sebermula segala anak-anak raja-raja dan segala orang dalam negeri itu
tiada disebut sperti ini melainkan jika ia duduk di Bima atau di Dompu, maka
barang adat perintah negeri tempat duduknya itu ialah yang (diturut) [14]olehnya. Bermula sekianlah yang telah dimufakat
oleh raja yang kedua pihak itu, dan barang siapa melalui kata ini, maka ia
patut dibunuh bunuh, maka dia patut diinjak (injak)lah, atau barang hukum
kepadanya.
3.
Perjanjian Tureli Nggampo (Abdul Rahim) dengan Admiral Truitman di Kota
Soma.
[15]Ini fasal pada menyatakan perihal Amiral
Truitman[16] dengan Raja Tureli Nggampo[17] di kota Soma. Tatkala ia sudah mengalahkan
Panakukang, maka ia singgah di Bima, maka antara beberapa harinya ia sampai di
Bima, maka ia berlabu dihadapan kota Soma. Maka antara beberapa harinya ia
berlabu maka keluar ia lalu naik mendapatkan kami ke darat, maka duduk ia
bersam-sama dengan kami pada pohon kayu tampode[18] namanya.
Maka ia berkata kepada kami dengan katanya, "Hai Tureli Nggampo, bahwa
sekarang jangan kamu takut karena kami disuruh oleh Kompeni kepada kamu, karena
ada sesuatu perkataan yang terlebih baik di bawa oleh kami kepada Tanah Bima
dan Raja Bima, karena kata Kompeni kepada kami, bahwa sekarang tiada negeri
yang lain berkasih-kasihan kepada Kompeni melainkan Raja Bima dan Tanah Bima
jua, karena berkasih-kasihan Kompeni dengan Raja Bima dan Tanah Bima, tatkala
ia kekal kebesarannya belum ia dikalahkan oleh Raja di Mengkasar tiada kami
memberi tanda, itulah sekarang amiral memberi tanda kepadanya, karena rupa
amiral jadi cap Kompeni dan Tanah Bima menjadi kertas. Adapun nama dalam cap
itu surat berjanjian[19] karena kata Kompeni dan Tanah Bima dengan
Tanah Wolanda berhubunglah sekarang ini seperti air laut dengan ombaknya,
berpegang-pegangan keras daripada besi dan teguh daripada tali, tiada
sekali-kali boleh[20] bercerai dan diubah cap ini oleh sesuatu hal
jua pun sampai kepada hari kiamat, dan jika boleh hilang dan lenyap Tanah Bima
maka hilang dan lenyap cap Kompeni kepada Tanah Bima, karena Raja Bima dengan
Kompeni dan Bima dengan Kompeni sama keduanya tiada lain keduanya.
"Demikiankianlah perkataan Amiral Truitman kepada kami".
Maka sahut kami, "Bahwa sekarang sekali-kali kami dan haraplah kami
akan perjanjian ini, tetapi kami jua yang menghadap perjanjian ini karena Yang
Dipertuan tiada di Bima, ada di Mengkasar karena diperhambakan kami oleh Raja
Mengkasar.
Maka kata Amiral kepada kami, "Bahwa Raja Bima sudah berkata-kata
dengan kami di Mengkasar dan seperti kami mengtakan diperhubungkan dengan Raja
Mengkasar itu kerena dalam bicara kami, dan jikalau ada sesuatu hal disuruh
oleh Raja Mengkasar kepada kami masukan kami beralih tiada mengerjakan dia,
supaya kami beroleh kebajikan oleh Raja Mengkasar karena kami orang kecil.
Sebagai lagi jikalau ada lagi cedera Wolanda dengan Raja Mengkasar, beberapa
orang Bima mati dibunuh orang Bima, padahal itu tiada merusakkan perjanjian ini
melainkan Wolanda dengan Bima. Apabila beroleh jalan sedikit jangan kami dalam
perang dengan Raja Mengkasar sekalipun kita bersama-sama lagi dan kita tolong
menolong lagi seperti hal kita di Panakukang. Sebagai lagi sekarang Kompeni
jika ia mau sebab diperhambakan oleh Raja Mengkasar kepada orang Bima yang
dikasih oleh Kompeni, maka kami orang putih lalu keluar di darat di kota Soma
itu."
Maka sahut kami, "Tiada boleh kami mendengar kata itu melainkan mana
sekehendak amiral jua akan hal itu. Sebagai lagi Bima dengan Wolanda apabila
hendak berlayar niaga atau barang hal maka ada bertemu ia kepada barang tempat
padahal itu, jika seperti kepada orang Wolanda maka orang Bima menolong dia,
dan jika pada orang Wolanda menolong kepadanya." Demikianlah adanya.
4.
Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dengan seluruh pegawai
negeri.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita dengan segala
raja-raja. Hijrat al-Nabi salla'llahu alaihi wa sallama seribu tujuh pula dua
tahun, tahun Ba atau Dalakhir sepuluh hari bulan Rabiulakhir pada hari jumat,
tatkala itulah perjanjian Tuan Kita Raja Bima dengan segala raja-raja jeneli
tureli, dan segala anak-anak raja-raja yang muda-muda, dan bumi-bumi, dan
jena-jena semuanya.
Tatkala itulah diakunya barang pekerjaan yang diperlambatkan dipindahkan,
seperti pekerjaan sehari maka menjadi sebulan dan pekerjaan sebulan menjadi
setahun, itulah diadat yang dipindahkan oleh segala hulubalang sekaliannya,
dalam itupun atas kuasanya.
Dan sebagai lagi jikalau ada punya orang dalam negeri atau punya sama
sendirinya diambilnya yang tiada patut akan diambilkan, hendaklah dikembalikan
semuanya, bahwa jangan sekali-kali diperbuat yang demikian itu dan jangan
sekali-kali diumpamakan dirinya dengan raja yang kerajaan.
Dan sebagai lagi sudah diterimanya oleh segala hulubalang akan menjadi tuan
selama-lamanya sampai kepada anak cucunya Yang Dipertuan ini dan anak cucunya
segala hulubalang sekalian ini, dan jikalau ada anaknya dua tiga orang
sekalipun mana yang jadi kerajaan itulah yang akan menjadi tuan oleh anak cucu
segala hulubalang dan orang Jara Ngoco, dan barang siapa melalui perjanjian
yang dalam surat ini insya Allah taala, Qur'an inilah yang akan membinasakan
kita aku. Bermula segala pekerjaan yang membahagi anak hamba dan punya orang
dalam tiga bulan tentu menanti, lepas daripada bulan itu tiada beroleh lagi.
5.
Perjanjian Raja Bima dengan Raja Balanipa di Mandar.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita Raja Bima dengan
Raja Balanipa. Ia Bima, ia Balanipa, jika orang Mandar datang ke Bima, datang
ke rumahnya, datang kepada makanan (nya). Demikian lagi orang Bima jika datang
ke Mandar, datang ke rumahnya, datang kepada makananya. Musuhnya Mandar
musuhnya Bima, jikalau boleh dibawanya berhutang sekalipun
ditumpanginya datang memberi tahu ke Balanipa. Demikian lagi Balanipa, jikalau
sukarnya Balanipa memberi tahu ke Bima. Hingga adanya orang Bima dengan orang
Balanipa, dan kesudahannya setiadanya orang Bima dan orang Balanipa, syahidnya
Allah Subhanahu wa taala dan Nabi Muhammad salla'llahu alaihi wa sallama.
Barang siapa melupakan kata ini dikutuk Allah dan rasul-Nya. Adapun tatkala
berjanji ini pada malam Jumat kepada sembilan hari bulan Jumadilakhir pada
tahun Ba Hijrat al-Nabi sall'llahu alaihi wa sallama seribu tujuh puluh
dualapan tahun, lima bulan tatkala Mengkasar dikalahkan oleh Wolanda.
6.
Perjanjian persahabatan antara Raja Bima (Sultan Abdul Kahir) dan ke-26
orang Bajo.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita Raja Bima dengan
segala orang Bajo yang membawa Yang Dipertuan Kita raja yang perempuan dari
Mengkasar. Adapun perjanjian Yang Dipertuan Kita kepada segala orang Bajo itu
diangkat akan saudara sampai kepada anak cucunya dan kepada anak cucu Yang
Dipertuan Kita. Apabila sampai kepada Tanah Bima atau kepada tanah yang takluk
kepada Tanah Bima, apabila ia mengambil barang yang dikehendakinya, tiada ia
meminta dan tiada ia membeli, melainkan segala tanam-tanaman, dan apabila
bertemu dengan orang Bima dalam laut seperti ia bertemu dengan saudaranya.
Demikian lagi orang Bajo itu, pertama si
Nata namanya, kedua si Lipar, ketiga si Ahu, keempat si Tia, kelima si Bingu,
keenam si Lanibang, ketujuh si Lanta, kedelapan si La'ba, kesembilan (hlm.41)
si Yabu, kesepuluh si Lipo, kesebelas si Pokae, kedua belas si Boge, ketiga
belas si Basang, keempat belas Jaulintar, kelima belas Ujal, keenam belas si
Sibar, ketujuh belas si Paro, kedelapan belas si jafar, kesembilan belas si
Pahatu, kedua puluh si Kili, selikur si Mbawa, kedua likur si Panda, ketiga
likur si Cando, keempat likur si Paho, kelima likur si Iba. Maka jumlahnya lima
likur orang juga.
7.
Perjanjian di Oi Ule antara Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dan seluruh
rakyat Bima.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita di Oi Ule pada
al-hijrat al-Nabi salla'llahu alaihi wa sallama seribu dualapan puluh empat
tahun, tahun Za, tujuh likur dari bulan Muharram pada hari Isnin waktu duha.
Kemudian daripada binasa Tanah Bima, tatkala itulah Yang Dipertuan Kita Sultan
Abi'l Kahir Sirajuddin duduk bersam-sama di Oi Ule pada pohon kayu due
namanya. Maka Yang Dipertuan Kita berjanji dan bertanya pada segala jeneli
tureli, dan segala bumi, dan jena, dan segala Jara Ngoco, dan segala gelarang
di dalam Tanah Bima sekalian, dan segala orang dalam negeri Bima, besar kecil,
tua muda sekaliannya.
Maka titah Duli Yang Dipertuan Kita, "Adakah kamu sekalian kekal
bantuan padaku atau tiada? "Mengapakah Duli Yang Dipertuanku bertanyakan
demikian itu karena pada patik sekaliannya ini kekal betuan kepada Duli Yang
Dipertuanku Insya Allah taala tiada beroleh bagi yang lama juga. "Maka
Titah Duli Yang Dipertuan Kita, "Dan jika ada maksud kami, adakah diterima
oleh kamu sekalian? "Maka sembah segala raja-raja dan segala gelarang sekaliannya,
"Insya Allah taala, barang apa maksud Duli Yang Dipertuanku, patik junjung
atas sekuasa patik sekalian."Maka titah Duli Yang Dipertuan Kita,
"Sungguh kamu sekalian jangan bersalahan ikrar dan tasdiqmu." Maka
sembah segala gelarang sekalian. "Maka titah Duli Yang Dipertuan Kita,
"Dan jikalau demikian itu aku sungguhlah aku jatuhkan rahasiaku ini kepada
kamu sekalian, aku menjadi nyawa dan kamu sekalian itu menjadi tubuh." Demikianlah
janji Duli Yang Dipertuan Kita serta sumpahnya menyebut nama Allah subhanahu wa
taala. Maka junjunglah segala raja-raja dan segala orang dalam negeri Bima
besar kecil, tua muda sekalian serta dengan menyebut nama Allah subhanahu wa
taala.
8.
Perjanjian Jeneli Parado dengan Gubernur Jendral Man Sekor (Joan
Maetsuyker) di Batavia.
Alamat perjanjian yang telah diputuskan oleh Jeneli Parado yang bernama
Jalaluddin dengan anaknya bernama Toyibun dan Jeneli Dompu di Jakarta. Hijrat
al-Nabi salla'llahu alaihi wa sallama seribu dualapan puluh lima tahun, tahun
(Dalawal) pada waktu duha, tatkala itulah Jeneli Parado dan Jeneli Dompu
berjanji dan bersumpah menjabat Qur'an serta menyebut nama Allah dan tuan
jenderal yang bernama Man Sekor atas kota Intan mengatakan, "Hai tuan
jenderal, adalah kami disuruh oleh tuan kami soal-soal minta ampun pada (kesalahan)
kami serta segala hal-ihwal kira-kira memberi keberatan pada diri kami dan
tanah kami." Maka jawaban tuan jenderal, "Hai jeneli
Parado, seperti hal bagaimana yang dipinta oleh Raja Bima? "Maka Raja
Jeneli Parado, "Seperti Kompeni hendak merusakkan kota tempat kedudukan
kami, dan minta senjata besar, dan berulang-ulang anak raja-raja serta segala
orang dalam negeri bernama rakyat berganti-ganti ke Betawi, dan menolong
Kompeni pada barang laut atau pulau tempat kerusakan kapal atau selup
Kompeni, itulah yang dipinta oleh tuan kami ampun kasih oleh Kompeni."Maka
diiyakan oleh tuan jenderal dan (rat) van india memegang kekuasaan Kompeni atas
negeri Betawi.
Maka jawab lagi oleh Raja Jeneli Parado (kata), Sekor San mengatakan,
"Telah haraplah kami kepada Allah taala seperti kata tuan jenderal dan
segala rat van india akan kasih sayang kepada peminta kami ampun Kompeni kepada
Raja yang kedua pihak itu serta tulus dan ikhlas hati tuan kami yang kedua
pihak itu, sungguh-sungguhlah mau bersaudara dan bersahabat dan
berkasih-kasihan kepada gurandur jenderal dan rat van India atas kuasa Kompeni.
Dan lagi kami minta kepada tuan jendral, seperti utusan daripada segala sahabat
Kompeni sana-sini datang pergi itu, kami minta ampun jangan dilarang oleh
Kompeni". Maka jawab oleh tuan jenderal dan segala rat van India,
"Jikalau ada utusan raja-raja yang lain pada pikir kami kalau-kalau datang
ke Bima atau ke Dompu, tiada boleh memberi pikir yang lain. Itulah Kompeni
tiada sedap hati. Maka jikalau tiada yang demikian itu, itulah lebih baik
seperti yang ada dalam surat perjanjian dan yang dipersumpahkan oleh raja yang
kedua pihak dengan kompeni adanya".
B. Hak-Hak
Warga Kerajaan Pada Naskah Bo Sangaji Kai
Adapun Hak-hak Istimewa orang Melayu yang di jelaskan di dalam Naskah Bo'
Sangaji Kai, dapat penulis pahami berikut ini:
1. Orang Melayu/Penghulu Melayu dan
Bangsa-bangsa Melayu mempunyai hak untuk melaksanakan Upacara sirih puan, tanpa
campur tangan dari orang lain. Karena
sebagai bukti masuknya agama Islam di Tanah Bima.
2. Orang Melayu/Penghulu Melayu dan Anak-anak Melayu mempunyai hak
untuk diangkat dan dimuliakan oleh rakyat Tanah Bima, pada acara sirih puan sebagai
tanda Hormat oleh Duli Yang Dipertuan Kita dan Wazir menterinya.
Hak-hak
istimewa di atas tertuang dalam Naskah Bo' Sangaji Kai yang dapat penulis
buktikan sebagai berikut:
Sirih Puan itu terkandung dalamnya empat perkara tanda peringatan yang amat
besar dan amat penting dalamnya. Pertama memuliakan hari kelahirannya di dunia penghulu kita Nabi Muhammad
saw. Kedua akan tanda peringatan mulai masuknya agama Islam di Tanah Bima dalam
bulan Rabiulawal tanggal 15 dalam tahun 1050 yaitu hari Kamis, 5 Juli 1640.
Ketiga tiada boleh orang lain mengerjakan sirih puan itu, melainkan
Penghulu Melayu dan bangsa-bangsa Melayu, yaitu suatu tanda yang memasukkan
Islam Tanah Bima, yaitu pokoknya dari orang-orang Melayu itu. Keempat perkara,
ketika itulah diangkat dan dimuliakan oleh rakyat Tanah Bima kepada
Penghulu Melayu dan anak Melayu yang di atas usungan sirih puan sebagai keangkatan
satu raja kerajaan dengan secukup alat perkakas dan bunyi-bunyian diarak oleh
segala menteri hulubalang hingga istana Duli Yang Dipertuan Kita dengan wazir
menterinya kepada penghulu dan turun-turunan Mealyu itu, yang ditetapkan dalam
setiap-tiap tahun, demikianlah adanya.
Adapun maksud dari upacara sirih puan dari teks Bo' yang penulis ungkapkan di atas yaitu
menjelaskan tentang:
1.
Upacara Besar-besaran yang diadakan di Bima oleh orang Melayu pada bulan
Maulud (Mb: u'a pua).
2. Sejenis sesajen yang terdiri atas daun-daun sirih yang dirangkai
serta sembilan puluh sembilan bunga kertas berwarna-warni dengan telur di
atasnya.
Persumpahan
dan perjanjian yang diungkapkan dalam Naskah Bo' Sangaji Kai, diakhiri dengan
perkataan Rumata Mabata Wadu kepada para menteri-menterinya dan
gelarang-gelarangnya mengenai persumpah dan perjanjian beliau kepada Allah swt,
sebagaimana yang dipaparkan di dalam teks Bo' berikuti ini: (Adapun)[21]
perkataan Rumata Mabata Wadu, "Hai sekalian adat menteriku, sekalian
gelarang-gelarang, aku menyaksikan perkataanku dan perjanjianku ini kepada
Allah taala Tuhan yang Esa, dan kepada rasulullah penghulu kita Nabi Muhammad
saw, dan kepada sekalian malaikat Allah. Maka barang siapa yang merombak dan
melaluinya perjanjianku dengan kedua guruku sampai turun-temurunnya sebagaimana
yang tersebut dalam bub[22]
ini, itulah orang yang dimurkai Allah taala, dan rasulullah, dan segala
malaikat, niscaya orang itu tiada mendapat selamat dunia dan akhirat.
Pada akhirnya
sumpah dan perjanjian yang dilakukan oleh al-marhum Tuan Sri Sultan Abdul Kahir
dengan kedua gurunya Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro, membuahkan hasil yang
cukup luar biasa, yaitu dengan diperbaharui dan dilaksanakannya lagi perjanjian
Al-marhum Sultan Abdul Kahir itu, oleh tuan kita Sri Sultan Abdul Hamid dengan
turunan melayu Ince penghulu Abdul Rasul dan imam melayu Abdul Mukmin dan
segala orang Melayu tua-tua, ungkapan ini
tertera pada (Held C)[23]
di dalam Naskah Bo' yang
berbunyi: Hijrat al-Nabi saw
seribu dua ratus tiga pada dua likur hari bulan Zulkaidah hari Selasa[24],
ketika itulah Duli Sri Paduka Tuan Kita Sri Sultan Abdul Hamid menitahkan juru
tulis asi[25]
menyalin daripada Bo' besar yang lama dari hal perjanjian dan
persumpahan Al-marhum tuan kita sri sultan Abdul Kahir dengan gurunya Datuk
Dibanda dan Datuk Ditiro keturunan dari bangsawan Melayu Tanah Pagaruyung, dari
sebab tatkala ini adalah titah perintah daripada tuan Gurandur dari Makasar
yang sampai kepada Tuan Fetor Bima akan memasukan Kampung Melayu dan Bugis dan
kampung Benteng di bawah perintah Tuan Fetor Bima. Maka dibaharuikan lagi
perjanjian Al-marhum Sultan Abdul Kahir itu oleh tuan kita Sri Sultan Abdul
Hamid dengan turunan melayu Ince penghulu Abdul Rasul dan imam melayu Abdul
Mukmin dan segala orang Melayu tua-tua di dalam paseban paruga[26]
suba[27]
menguatkan persahabatan yang dulu itu pada hijrat Al- Nabi SAW Seribu Lima
Puluh Lima di bulan Muharam.[28]
Tatkala itu kedua gurunya Tuan Kita Sultan Abdul Kahir, yaitu Datuk Dibanda dan
Datuk Ditiro, setelah selesai tanah Bima di Islamkannya, maka Dipertuan kita akan kembali di Mangkasar,
sebab ada suruhan yang Dipertuan Kita Raja Goa menjemput kedua Datuk itu. Maka
ditinggalkan kedua Anaknya yang bernama Ince Nara Diraja dan Ince Jaya Indra,
tatkala Duli Tuan Kita bersumpah dengan kedua gurunya itu sebagaimana tersebut
di Held B. [29]
Sehingga
sumpah dan perjanjian yang dilakukan oleh al-marhum Sultan Abdul Kahir terhadap
kedua gurunya, tetap diperbahurui dan tetap dillaksanakan oleh turun-temrunnya,
sesuai dengan harapannya selesei bersumpah dan berjanji terhadap orang Melayu,
wa Allahu khair al-syahidin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari
penjelasan diatas mengenai perjanjian yang tertuang dalam Naskah Bo' Sangaji
Kai dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
- Perjanjian Raja Manuru Salisi dengan orang Belanda di dusun Cenggu pada tahun 1611 Masehi. Ketika Raja Bima menolong orang Belanda Melawan Orang Portugis.
- Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Khair Sirajuddin) dengan Raja Dompu di Raba Karumbu. Tentang status hukum para hamba yang pindah dari satu negeri ke negeri yang lain.
- Perjanjian Tureli Nggampo (Abdul Rahim) dengan Admiral Truitman di Kota Soma untuk saling menolong di kemudian hari.
- Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dengan seluruh pegawai negeri. Tentang kewajiban para pegawai untuk melaksanakan tugasnya dengan rajin, jujur, dan mengabdi.
- Perjanjian Raja Bima dengan Raja Balanipa di Mandar agar senantiasa bersekutu dan tolong menolon, yang diikat setelah Makassar dikalahkan oleh Belanda.
- Perjanjian persahabatan antara Raja Bima (Sultan Abdul Kahir) dan ke-26 orang Bajo. Yang mengantarkan istri Raja Bima dari Makassar.
- Perjanjian di Oi Ule antara Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dan seluruh rakyat Bima. Rakyat berjanji akan kekal bertuan pada Sultan, dan Sultan menyatakan, "Aku menjadi nyawa dan kamu sekalian menjadi tubuh".
- Perjanjian Jeneli Parado dengan Gubernur Jendral Man Sekor (Joan Maetsuyker) di Batavia.: wakil raja Bima mohon ampun dan minta agar kapal-kapal dagang tidak dilarang singgah di Bima.
9.
Hak-hak Istimewa orang Melayu dan Bangsa-bangsa Melayu mempunyai hak untuk
melaksanakan Upacara sirih puan, tanpa campur tangan dari orang lain dan Orang Melayu/Penghulu Melayu dan Anak-anak Melayu mempunyai
hak untuk diangkat dan dimuliakan oleh rakyat Tanah Bima.
DAFTAR PUSTAKA
Henri
Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan
Kerajaan Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hal. xiii, 57-60, 69,
75 – Cet. 1
Drs. H.M.
Arifin Noor. ISD (Ilmu Sosial Dasar). Pustaka Setia: Bandung 2007.
[1] Henri Chambert-Loir
& Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hal. xii – Cet. 1
[2] Ibid.
[3] Ibid., hal.
xiii
[4] Ibid., hal.
xiv
[5] Held adalah
transkripsi dari naskah Jawi berjudul "Buku Sejarah Swapraja Bima" milik
kepala Hadat Bima H. Achmad, Rato Rasanae. Transkripsi tersebut dilakukan oleh
Abdurachman Bendi dan Murtada atas suruhan Haji Achmad dan selesai pada tgl. 15
Juni 1955.
[6] Ibid., hal.
xvi
[7] Judul ini ditulis
oleh orang yang lain daripada penyalin fasalnya. Angka 1611 ditulis dengan
angka Latin
[8] Maksudnya: Belanda
[9] Nskh: (bylq); Held:
Bilik (kemudian: Bili).
[10] Bahasa Mbojo, bisa:
"memotong" {tali}
[11] Nskh: di hadapan
[12] Perjanjian ini diikat
oleh Sultan Abi'l Khair Sirajuddin
[13] Nskh tbh: mati.
[14] Nskh: disuruh
[15] Fasal-fasal berikut
(Nskh: 40-42) terdapat dalam Held: 12-21.
[16] Nskh: (a-mr-l
tr-tmn). Di atas nama ini tertulis dalam huruf Latin nama "Admiraal
Truitman". Kata "admiral" ditulis (a-mr-a-l) dalam seluruh fasal
ini dan ditranskripsi "amiral".
[17] Yaitu Raja Bicara
Abdul Rahim. (pada masa itu Sultan Bima Abi'l Khair Sirajuddin sedang
mendampingi Sultan Goa Hasanuddin dalam perang di perairan Buton). Kota Soma
adalah banteng di sebelah barat Teluk Bima yang di sebut Asa Kota. Peristiwa
ini terjadi pada tahun 1667.
[18] Bahasa Mbojo, tampode,
sejenis pohon.
[19] Pemakaian awalan ber-
(daripada per-) berasal dari fungsi ganda awalan ra- dalam bahasa Mbojo
(lih. Pendahuluan).
[20] Nskh: Beroleh.
[21] Held: Apabila
[22] Bub, lih, Bo'
[23] Pasal ini tidak
terdapat dalam Nskh dan dikutip dari Held: 95-96; hanya dikutip permulaannya
karena bagian selanjutnya hampir
sama dengan fasal sebaelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar