Rabu, 06 Mei 2015

Bo' Sangaji kai



KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan atas terselesaikannya karya tulis dalalm bentuk makalah yang khusus mengulas tentang Hak-Hak dan Perjanjian-Perjanjian Warga Kerajaan Pada Naskah Bo Sangaji Kai dalam mata kuliah Hukum Adat. Dalam karya tulis ini, Penulis mengulas tentang Apa saja perjanjian yang dilakukan oleh raja-raja Bima dalam Naskah Bo' Sangaji kai dan bagaimana memperjuangkan hak-hak para warga masyarakat adat Bima pada zaman kerajaan Bima. Untuk penyusunan karya tulis ini, Penulis banyak mendapat masukan dari pihak-pihak yang turut berkecimpung dalam proses penyusunan laporan. Untuk itu penulis haturkan banyak terimakasih di antaranya kepada :
1.       Dosen  pengampu bidang mata kuliah Hukum Adat
2.       Orang tua mahasiswi yang turut mendukung dalam proses kegiatan belajar
3.       Para sahabat sekalian yang turut membantu dalam penyusunan karya tulis ini
4.       Dan para pembaca sekalian yang telah berkenan mengoreksi, memberikan kritik dan saran terhadap karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mohon maaf jika ada kesalahan kata ataupun kekurangan dalam tata bahasa dan penulisan. Kami mohon kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi terciptanya karya tulis yang jauh lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya.

TERIMAKASIH


Mataram, 27 Maret 2013
Penulis


DAFTAR ISI
Halaman judul……………………………………………………………........................................... i
Kata pengantar …………………………………………………………........................................... 1
Daftar Isi …………………………………………………………………............................................. 2
BAB I                    : PENDAHULUAN
A.Latar belakang......................................................................... 3
B. Rumusan Masalah................................................................... 5
BAB II                  : PEMBAHASAN
A.      Perjanjian-Perjanjian Raja Bima dalam Naskah Bo’ Sangaji Kai. 6
1.       Perjanjian Raja Manuru Salisi dengan orang Belanda......... 6
2.       Perjanjian Raja Bima dengan Raja Dompu......................... 7
3.       Perjanjian Tureli Nggampo dengan Admiral Truitmen........ 8
4.       Perjanjian dengan Seluruh Pegawai Negeri....................... 10
5.       Perjanjian dengan Raja Balanipa....................................... 10
6.       Perjanjian dengan 26 orang Bajo...................................... 11
7.       Perjanjian di Oi Ule.......................................................... 11
8.       Perjanjian Janeli Parado dengan Jendral Man Sekor.......... 12
B.      Hak-Hak Para Warga Kerajaan Pada Naskah Bo’ Sangaji Kai...... 13
BAB III                 : PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA










BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Bo' Sangaji Kai, yaitu "Buku catatan raja-raja Bima atau buku catatan sejarah yang ditulis di istana Sultan dan di rumah beberapa pembesar (Bo' Bicara Kai, Bo' Bumi Luma. dll". Buku itu merupakan dokumen arsip sejarah Kerajaan Bima yang terpenting, di antara berbagai jenis Bo' yang lain. Tradisi penulisan buku jenis itu diwarisi Bima dari Sulawesi Selatan. Di daerah berbahasa Bugis dan Makasar pada masa lalu, dikenal sebuah tradisi historiografi yang khas berupa lontara bilang, yakni buku-buku catatan yang sangat terperinci yang ditulis di istana Raja atau di rumah beberapa pembesar.[1]
Menurut ingatan orang Bima kini, tradisi menulis Bo' dimulai oleh perdana menteri Tureli Nggampo Makapiri Solo, setelah mempelajari sistim pemerintahan Kerajaan Goa dan Luwu'. Mula-mula Bo' ditulis dalam bahasa dan aksara kuno Bima di atas daun lontar. Kemudian pada tanggal, 15 Muharram 1055 (yaitu 13 Maret 1645), Sultan Abi'l Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo' selanjutnya ditulis di atas kertas "dengan memakai bahasa Melayu dengan rupa tulisan yang diridhai Allah taala". Kita sebenarnya tidak mempunyai contoh dari Bo' dalam bahasa Bima ataupun dari naskah bertulisan aksara Bima kuno. Semua Bo' yang kini masih ada tertulis dalam bahasa Melayu. Kata Bo' sendiri berasal dari kata Belanda boek dan boleh diperkirakan baru masuk bahasa Mbojo pada akhir abad ke-17.[2]
Isi Bo' menggambarkan sebuah kerajaan yang sangat teratur tata peemerintahannya serta luas hubungan luarnya. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Bima telah berdiri dan berkembang lama sebelum masa yang diliputi oleh Bo', dan sempat mengembangkan sebuah pola politik dan budaya yang canggih berkat kemakmuran yang dihasilkan oleh perniagaan.[3]
Bima terletak di tengah-tengah jalur maritim yang melintasi Kepulauan Indonesia, sehingga menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari Malaka ke Maluku. Sejumlah peninggalan dan prasasti serta beberapa kutipan dari teks jawa kuna seperti Nagarakertagama dan pararaton membuktikan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi sekitar abad ke-10. Waktu orang Portugis mulai menjelajahi kepulauan Nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang berarti. Pada dasawarsa kedua abad ke 16, Tome Pires menggambarkan Bima sebagai berikut: "Pulau Bima adalah pulau yang diperintah oleh seorang Raja kafir".[4]
Menurut tradisi setempat, Raja Bima yang pertama memeluk agama Islam dan mengambil nama Sultan Abdul Kahir dididik  dalam agama baru oleh dua orang mubalig dari sumatra, yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro. Datuk ri Bandang, yang juga terkenal dengan nama Khatib Tunggal, disebut dalam beberapa legenda di kawasan ini sebagai mubalig yang mengislamkan raja-raja lima kerajaan, yaitu Goa, Wajo', Kutai, Gantarang (di Pulau Selayar), dan Bima (lih. Chambert-Loir 1985a). Ketika pulang ke Makassar, Datuk ri Bandang menyuruh anaknya (atau cucunya) untuk mengajari masyarakat Bima dalam agama. Menurut Bo' Sangaji Kai (Naskah: § Held B)[5], Sultan kedua menganugerahkan hak istimewa kepada golongan orang Melayu di Bima sebagai guru agama.[6]
Sultan Abdul Kahir meninggal pada tahun 1640 dan diganti di atas takhta kerajaan oleh anak yang diperolehnya dari perkawinannya dengan putri Makassar. Sultan baru digelarkan dengan nama Abi'l  Khair Sirajuddin dan memerintah selama 42 tahun. Namun, ketika diangkat sebagai Sultan dia baru berumur 11 tahun, sehingga pasti tidak memerintah langsung tetapi diwakili oleh Raja Bicara. Periode pemerintahan Sultan Abi'l Khair Sirajuddin adalah masa perang Makassar melawan Belanda (tahun 1650-an dan 1660-an), yang berakhir dengan kekalahan Makassar dan perjanjian Bongaya (18 November 1667). Sultan Abi'l Khair, yang telah menjadi menantu Sultan Goa, tentu saja memihak kepada Goa dan ikut berperang diperairan Buton dan   Makassar. Waktu melarikan diri lewat Mandar pada tahun 1667, dia mengikat persaudaraan dengan Raja Mandar (Nskh: 40).
Untuk lebih jelasnya, penulis akan menjelaskan berbagai perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh Raja Bima, yang dikutip dalam Naskah Bo' Sangaji Kai yang menjadi bahan permasalahan di dalam makalah ini.
B.      Rumusan Masalah
  1. Apa saja perjanjian yang dilakukan oleh raja-raja Bima dalam Naskah Bo' Sangaji kai?
  2. Dan bagaimana memperjuangkan hak-hak para warga masyarakat adat Bima pada zaman kerajaan ?























BAB II
PEMBAHASAN
A.      Perjanjian-perjanjian Raja Bima dalam Naskah Bo' Sangaji Kai
Adapun perjanjian Raja Bima yang dikutip di dalam Naskah Bo' Sangaj Kai dapat penulis paparkan sebagai berikut:
1.       Perjanjian Raja Manuru Salisi dengan orang Belanda di dusun Cenggu pada tahun 1611 Masehi.[7]
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita kerajaan atas tanah Bima digelarkan Rumata Manuru Salisi dengan anak Wolanda[8] di dusun yang bernama Cenggu pada masa bersalahan anak Wolanda dengan orang Paringgi. Tetapi pada masa itu negeri Bima belum ia masuk agama Islam.
Maka pada zaman itu ada sebuah kapal Peringgi yang ada dalam labuan negeri Sape. Maka kedengaranlah anak Wolanda yang ada masuk di dalam Kuala Belo[9] adanya orang Peringgi di labuan Sape itu. Maka pergilah ia anak Wolanda itu lalu dilanggarkannya orang Paringgi itu maka dialahkanyalah kapal peringgi itu. Dalam pada itu pun ada sampan Peringgi itu yang melepaskan dirinya setengah. Maka ia lalu lari di Sanggar maka bertemulah dengan temannya satu kapal Peringgi pula. Maka didengarnya oleh Peringgi itu ada temannya anak Wolanda mengalahkan dia yang lagi ada tinggal dalam sungai Belo. Maka didatankanlah anak Wolanda yang ada dalam  Sungai Negeri Belo itu, dan didapatinya anak Wolanda oleh peringgi itu, kemudian dibunuhnya anak Wolanda oleh Peringgi.
Maka didengar oleh Yang Dipertuan Kita Raja Bima lalu ditolongnya anak Wolanda itu. Maka didapatinya orang Paringgi itu oleh Raja Bima lalu dibunuhnya dan diikat  barang dua tiga orang. Maka orang Peringgi setengah lalu lari berlayar kembali.  Kemudian dari itu anak Wolanda yang dibunuhnya oleh Peringgi itu tinggal lagi lima orang yang hidup.
Hatta maka berapa lamanya maka datang pula kapal Wolanda yang dari Sape mendapatkan temannya yang di Belo itu. Maka ia mendapat kesusahan yang disebabkan mati temannya serta rupanya seolah-olah tiada percaya pada Raja Bima. Maka pada masa itu berbicaralah ia dengan Raja Bima. Di dalam itu pun maka dikabrkannyalah segala hal-ihwalnya daripada asal mulanya datang kepada kesudahan oleh temannya sendiri lima orang itu.
Maka bermufaktlah, baik Raja Bima dengan anak Wolanda serta ia berjanji dan bersumpah mengatakan sekarang ia anak Wolanda dengan anak Bima bersaudara dan bersahabat pada masa ini sampai kepada anak cucu Wolanda dengan anak cucu orang Bima tolong menolong barang sesuatu meski di mana-mana daripada awalnya datang kepada akhirnya. Jikalau ia bertemu, mana adat orang bersaudara dan bersahabat dan berkasih-kasihan itulah yang dipegang dan dikerjakan oleh kedua pihak itu. Serta ia minum arak pada satu tempurung serta ia memenggal anjing seekor dan mengerat benang atau bisa[10] akan tanda diteguhinya perjanjiannya dengan persumpahannya itu, dihadap[11] oleh segala raja-raja dan orang besar-besar dalam Tanah Bima dan sekalian orang tua atau muda tatkala berjanji dan bersumpah itu, demikianlah adanya.
2.       Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Khair Sirajuddin) dengan Raja Dompu di Raba Karumbu.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian di Raba Karumbu pada hari Kamis waktu duha, sembilan hari bulan Rajab tahun Dalawal, tatkala itulah duduk berhimpun sama-sama Yang Dipertuan Kita Raja Bima[12] dengan Raja Dompu dan segala janeli tureli Bima, dan segala (hlm.40) jeneli tureli di Dompu. Dan segala-segala bumi-bumi, jena-jena, dan segala orang tua dalam negeri Bima dan dalam negeri Dompu pada Raba Karumbu namanya.
Pada masa itulah berbicara memutuskan hukum pada hal segala hamba orang Bima yang pergi di Dompu dan hamba orang Dompu yang pergi ke Bima, itulah yang telah dimufakatkan oleh raja yang kedua pihak itu, mengatakan jikalau ada hamba orang Bima yang pergi di Dompu atau hamba orang Dompu yang pergi di Bima, lain daripada yang telah mati dan telah dijual[13] itulah itulah yang tiada dikembalikan olehnya. Sebermula hamba yang dikembalikan itu jikalau ada hutangnya sekalipun, tiada dapat disebut olehnya sebab hutang atau sebab makanan atau barang sesuatu hal jua pun oleh kedua pihak itu. Tetapi hamba yang dikembalikan itu, jika ia beranak dengan orang Dompu atau hamba orang Dompu beranak dengan orang Bima, mau laki-laki atau pun perempuan hamba itu, jikalau ia laki dalam Bima maka ia menjadi orang Bima, dan jika ia laki dalam Dompu maka ia menjadi orang Dompu anak itu, lain daripada anak sama orang Bima dan sama orang Dompu.
Sebermula segala anak-anak raja-raja dan segala orang dalam negeri itu tiada disebut sperti ini melainkan jika ia duduk di Bima atau di Dompu, maka barang adat perintah negeri tempat duduknya itu ialah yang (diturut) [14]olehnya. Bermula sekianlah yang telah dimufakat oleh raja yang kedua pihak itu, dan barang siapa melalui kata ini, maka ia patut dibunuh bunuh, maka dia patut diinjak (injak)lah, atau barang hukum kepadanya.
3.       Perjanjian Tureli Nggampo (Abdul Rahim) dengan Admiral Truitman di Kota Soma.
[15]Ini fasal pada menyatakan perihal Amiral Truitman[16] dengan Raja Tureli Nggampo[17] di kota Soma. Tatkala ia sudah mengalahkan Panakukang, maka ia singgah di Bima, maka antara beberapa harinya ia sampai di Bima, maka ia berlabu dihadapan kota Soma. Maka antara beberapa harinya ia berlabu maka keluar ia lalu naik mendapatkan kami ke darat, maka duduk ia bersam-sama dengan kami pada pohon kayu tampode[18] namanya.
Maka ia berkata kepada kami dengan katanya, "Hai Tureli Nggampo, bahwa sekarang jangan kamu takut karena kami disuruh oleh Kompeni kepada kamu, karena ada sesuatu perkataan yang terlebih baik di bawa oleh kami kepada Tanah Bima dan Raja Bima, karena kata Kompeni kepada kami, bahwa sekarang tiada negeri yang lain berkasih-kasihan kepada Kompeni melainkan Raja Bima dan Tanah Bima jua, karena berkasih-kasihan Kompeni dengan Raja Bima dan Tanah Bima, tatkala ia kekal kebesarannya belum ia dikalahkan oleh Raja di Mengkasar tiada kami memberi tanda, itulah sekarang amiral memberi tanda kepadanya, karena rupa amiral jadi cap Kompeni dan Tanah Bima menjadi kertas. Adapun nama dalam cap itu surat berjanjian[19] karena kata Kompeni dan Tanah Bima dengan Tanah Wolanda berhubunglah sekarang ini seperti air laut dengan ombaknya, berpegang-pegangan keras daripada besi dan teguh daripada tali, tiada sekali-kali boleh[20] bercerai dan diubah cap ini oleh sesuatu hal jua pun sampai kepada hari kiamat, dan jika boleh hilang dan lenyap Tanah Bima maka hilang dan lenyap cap Kompeni kepada Tanah Bima, karena Raja Bima dengan Kompeni dan Bima dengan Kompeni sama keduanya tiada lain keduanya. "Demikiankianlah perkataan Amiral Truitman kepada kami".
Maka sahut kami, "Bahwa sekarang sekali-kali kami dan haraplah kami akan perjanjian ini, tetapi kami jua yang menghadap perjanjian ini karena Yang Dipertuan tiada di Bima, ada di Mengkasar karena diperhambakan kami oleh Raja Mengkasar.
Maka kata Amiral kepada kami, "Bahwa Raja Bima sudah berkata-kata dengan kami di Mengkasar dan seperti kami mengtakan diperhubungkan dengan Raja Mengkasar itu kerena dalam bicara kami, dan jikalau ada sesuatu hal disuruh oleh Raja Mengkasar kepada kami masukan kami beralih tiada mengerjakan dia, supaya kami beroleh kebajikan oleh Raja Mengkasar karena kami orang kecil. Sebagai lagi jikalau ada lagi cedera Wolanda dengan Raja Mengkasar, beberapa orang Bima mati dibunuh orang Bima, padahal itu tiada merusakkan perjanjian ini melainkan Wolanda dengan Bima. Apabila beroleh jalan sedikit jangan kami dalam perang dengan Raja Mengkasar sekalipun kita bersama-sama lagi dan kita tolong menolong lagi seperti hal kita di Panakukang. Sebagai lagi sekarang Kompeni jika ia mau sebab diperhambakan oleh Raja Mengkasar kepada orang Bima yang dikasih oleh Kompeni, maka kami orang putih lalu keluar di darat di kota Soma itu."   
Maka sahut kami, "Tiada boleh kami mendengar kata itu melainkan mana sekehendak amiral jua akan hal itu. Sebagai lagi Bima dengan Wolanda apabila hendak berlayar niaga atau barang hal maka ada bertemu ia kepada barang tempat padahal itu, jika seperti kepada orang Wolanda maka orang Bima menolong dia, dan jika pada orang Wolanda menolong kepadanya." Demikianlah adanya.
4.       Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dengan seluruh pegawai negeri.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita dengan segala raja-raja. Hijrat al-Nabi salla'llahu alaihi wa sallama seribu tujuh pula dua tahun, tahun Ba atau Dalakhir sepuluh hari bulan Rabiulakhir pada hari jumat, tatkala itulah perjanjian Tuan Kita Raja Bima dengan segala raja-raja jeneli tureli, dan segala anak-anak raja-raja yang muda-muda, dan bumi-bumi, dan jena-jena semuanya.
Tatkala itulah diakunya barang pekerjaan yang diperlambatkan dipindahkan, seperti pekerjaan sehari maka menjadi sebulan dan pekerjaan sebulan menjadi setahun, itulah diadat yang dipindahkan oleh segala hulubalang sekaliannya, dalam itupun atas kuasanya.
Dan sebagai lagi jikalau ada punya orang dalam negeri atau punya sama sendirinya diambilnya yang tiada patut akan diambilkan, hendaklah dikembalikan semuanya, bahwa jangan sekali-kali diperbuat yang demikian itu dan jangan sekali-kali diumpamakan dirinya dengan raja yang kerajaan.
Dan sebagai lagi sudah diterimanya oleh segala hulubalang akan menjadi tuan selama-lamanya sampai kepada anak cucunya Yang Dipertuan ini dan anak cucunya segala hulubalang sekalian ini, dan jikalau ada anaknya dua tiga orang sekalipun mana yang jadi kerajaan itulah yang akan menjadi tuan oleh anak cucu segala hulubalang dan orang Jara Ngoco, dan barang siapa melalui perjanjian yang dalam surat ini insya Allah taala, Qur'an inilah yang akan membinasakan kita aku. Bermula segala pekerjaan yang membahagi anak hamba dan punya orang dalam tiga bulan tentu menanti, lepas daripada bulan itu tiada beroleh lagi.
5.       Perjanjian Raja Bima dengan Raja Balanipa di Mandar.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita Raja Bima dengan Raja Balanipa. Ia Bima, ia Balanipa, jika orang Mandar datang ke Bima, datang ke rumahnya, datang kepada makanan (nya). Demikian lagi orang Bima jika datang ke Mandar, datang ke rumahnya, datang kepada makananya. Musuhnya Mandar musuhnya Bima, jikalau boleh dibawanya berhutang sekalipun ditumpanginya datang memberi tahu ke Balanipa. Demikian lagi Balanipa, jikalau sukarnya Balanipa memberi tahu ke Bima. Hingga adanya orang Bima dengan orang Balanipa, dan kesudahannya setiadanya orang Bima dan orang Balanipa, syahidnya Allah Subhanahu wa taala dan Nabi Muhammad salla'llahu alaihi wa sallama. Barang siapa melupakan kata ini dikutuk Allah dan rasul-Nya. Adapun tatkala berjanji ini pada malam Jumat kepada sembilan hari bulan Jumadilakhir pada tahun Ba Hijrat al-Nabi sall'llahu alaihi wa sallama seribu tujuh puluh dualapan tahun, lima bulan tatkala Mengkasar dikalahkan oleh Wolanda.
6.       Perjanjian persahabatan antara Raja Bima (Sultan Abdul Kahir) dan ke-26 orang Bajo.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita Raja Bima dengan segala orang Bajo yang membawa Yang Dipertuan Kita raja yang perempuan dari Mengkasar. Adapun perjanjian Yang Dipertuan Kita kepada segala orang Bajo itu diangkat akan saudara sampai kepada anak cucunya dan kepada anak cucu Yang Dipertuan Kita. Apabila sampai kepada Tanah Bima atau kepada tanah yang takluk kepada Tanah Bima, apabila ia mengambil barang yang dikehendakinya, tiada ia meminta dan tiada ia membeli, melainkan segala tanam-tanaman, dan apabila bertemu dengan orang Bima dalam laut seperti ia bertemu dengan saudaranya. Demikian lagi  orang Bajo itu, pertama si Nata namanya, kedua si Lipar, ketiga si Ahu, keempat si Tia, kelima si Bingu, keenam si Lanibang, ketujuh si Lanta, kedelapan si La'ba, kesembilan (hlm.41) si Yabu, kesepuluh si Lipo, kesebelas si Pokae, kedua belas si Boge, ketiga belas si Basang, keempat belas Jaulintar, kelima belas Ujal, keenam belas si Sibar, ketujuh belas si Paro, kedelapan belas si jafar, kesembilan belas si Pahatu, kedua puluh si Kili, selikur si Mbawa, kedua likur si Panda, ketiga likur si Cando, keempat likur si Paho, kelima likur si Iba. Maka jumlahnya lima likur orang juga.
7.       Perjanjian di Oi Ule antara Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dan seluruh rakyat Bima.
Ini pasal pada menyatakan perjanjian Yang Dipertuan Kita di Oi Ule pada al-hijrat al-Nabi salla'llahu alaihi wa sallama seribu dualapan puluh empat tahun, tahun Za, tujuh likur dari bulan Muharram pada hari Isnin waktu duha. Kemudian daripada binasa Tanah Bima, tatkala itulah Yang Dipertuan Kita Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin duduk bersam-sama di Oi Ule pada pohon kayu due namanya. Maka Yang Dipertuan Kita berjanji dan bertanya pada segala jeneli tureli, dan segala bumi, dan jena, dan segala Jara Ngoco, dan segala gelarang di dalam Tanah Bima sekalian, dan segala orang dalam negeri Bima, besar kecil, tua muda sekaliannya.
Maka titah Duli Yang Dipertuan Kita, "Adakah kamu sekalian kekal bantuan padaku atau tiada? "Mengapakah Duli Yang Dipertuanku bertanyakan demikian itu karena pada patik sekaliannya ini kekal betuan kepada Duli Yang Dipertuanku Insya Allah taala tiada beroleh bagi yang lama juga. "Maka Titah Duli Yang Dipertuan Kita, "Dan jika ada maksud kami, adakah diterima oleh kamu sekalian? "Maka sembah segala raja-raja dan segala gelarang sekaliannya, "Insya Allah taala, barang apa maksud Duli Yang Dipertuanku, patik junjung atas sekuasa patik sekalian."Maka titah Duli Yang Dipertuan Kita, "Sungguh kamu sekalian jangan bersalahan ikrar dan tasdiqmu." Maka sembah segala gelarang sekalian. "Maka titah Duli Yang Dipertuan Kita, "Dan jikalau demikian itu aku sungguhlah aku jatuhkan rahasiaku ini kepada kamu sekalian, aku menjadi nyawa dan kamu sekalian itu menjadi tubuh." Demikianlah janji Duli Yang Dipertuan Kita serta sumpahnya menyebut nama Allah subhanahu wa taala. Maka junjunglah segala raja-raja dan segala orang dalam negeri Bima besar kecil, tua muda sekalian serta dengan menyebut nama Allah subhanahu wa taala.
8.       Perjanjian Jeneli Parado dengan Gubernur Jendral Man Sekor (Joan Maetsuyker) di Batavia. 
Alamat perjanjian yang telah diputuskan oleh Jeneli Parado yang bernama Jalaluddin dengan anaknya bernama Toyibun dan Jeneli Dompu di Jakarta. Hijrat al-Nabi salla'llahu alaihi wa sallama seribu dualapan puluh lima tahun, tahun (Dalawal) pada waktu duha, tatkala itulah Jeneli Parado dan Jeneli Dompu berjanji dan bersumpah menjabat Qur'an serta menyebut nama Allah dan tuan jenderal yang bernama Man Sekor atas kota Intan mengatakan, "Hai tuan jenderal, adalah kami disuruh oleh tuan kami soal-soal minta ampun pada (kesalahan) kami serta segala hal-ihwal kira-kira memberi keberatan pada diri kami dan tanah kami." Maka jawaban tuan jenderal, "Hai jeneli Parado, seperti hal bagaimana yang dipinta oleh Raja Bima? "Maka Raja Jeneli Parado, "Seperti Kompeni hendak merusakkan kota tempat kedudukan kami, dan minta senjata besar, dan berulang-ulang anak raja-raja serta segala orang dalam negeri bernama rakyat berganti-ganti ke Betawi, dan menolong Kompeni pada barang laut atau pulau tempat kerusakan kapal atau selup Kompeni, itulah yang dipinta oleh tuan kami ampun kasih oleh Kompeni."Maka diiyakan oleh tuan jenderal dan (rat) van india memegang kekuasaan Kompeni atas negeri Betawi.
Maka jawab lagi oleh Raja Jeneli Parado (kata), Sekor San mengatakan, "Telah haraplah kami kepada Allah taala seperti kata tuan jenderal dan segala rat van india akan kasih sayang kepada peminta kami ampun Kompeni kepada Raja yang kedua pihak itu serta tulus dan ikhlas hati tuan kami yang kedua pihak itu, sungguh-sungguhlah mau bersaudara dan bersahabat dan berkasih-kasihan kepada gurandur jenderal dan rat van India atas kuasa Kompeni. Dan lagi kami minta kepada tuan jendral, seperti utusan daripada segala sahabat Kompeni sana-sini datang pergi itu, kami minta ampun jangan dilarang oleh Kompeni". Maka jawab oleh tuan jenderal dan segala rat van India, "Jikalau ada utusan raja-raja yang lain pada pikir kami kalau-kalau datang ke Bima atau ke Dompu, tiada boleh memberi pikir yang lain. Itulah Kompeni tiada sedap hati. Maka jikalau tiada yang demikian itu, itulah lebih baik seperti yang ada dalam surat perjanjian dan yang dipersumpahkan oleh raja yang kedua pihak dengan kompeni adanya".

B. Hak-Hak Warga Kerajaan Pada Naskah Bo Sangaji Kai
Adapun Hak-hak Istimewa orang Melayu yang di jelaskan di dalam Naskah Bo' Sangaji Kai, dapat penulis pahami berikut ini:
1.       Orang Melayu/Penghulu Melayu dan Bangsa-bangsa Melayu mempunyai hak untuk melaksanakan Upacara sirih puan, tanpa campur tangan dari orang lain. Karena sebagai bukti masuknya agama Islam di Tanah Bima.
2.       Orang Melayu/Penghulu Melayu dan Anak-anak Melayu mempunyai hak untuk diangkat dan dimuliakan oleh rakyat Tanah Bima, pada acara sirih puan sebagai tanda Hormat oleh Duli Yang Dipertuan Kita dan Wazir menterinya.
Hak-hak istimewa di atas tertuang dalam Naskah Bo' Sangaji Kai yang dapat penulis buktikan sebagai berikut:
Sirih Puan itu terkandung dalamnya empat perkara tanda peringatan yang amat besar dan amat penting dalamnya. Pertama memuliakan hari kelahirannya di dunia penghulu kita Nabi Muhammad saw. Kedua akan tanda peringatan mulai masuknya agama Islam di Tanah Bima dalam bulan Rabiulawal tanggal 15 dalam tahun 1050 yaitu hari Kamis, 5 Juli 1640. Ketiga tiada boleh orang lain mengerjakan sirih puan itu, melainkan Penghulu Melayu dan bangsa-bangsa Melayu, yaitu suatu tanda yang memasukkan Islam Tanah Bima, yaitu pokoknya dari orang-orang Melayu itu. Keempat perkara, ketika itulah diangkat dan dimuliakan oleh rakyat Tanah Bima kepada Penghulu Melayu dan anak Melayu yang di atas usungan sirih puan sebagai keangkatan satu raja kerajaan dengan secukup alat perkakas dan bunyi-bunyian diarak oleh segala menteri hulubalang hingga istana Duli Yang Dipertuan Kita dengan wazir menterinya kepada penghulu dan turun-turunan Mealyu itu, yang ditetapkan dalam setiap-tiap tahun, demikianlah adanya.
Adapun maksud dari upacara sirih puan dari teks Bo'  yang penulis ungkapkan di atas yaitu menjelaskan tentang:
1.       Upacara Besar-besaran yang diadakan di Bima oleh orang Melayu pada bulan Maulud (Mb: u'a pua).
2.       Sejenis sesajen yang terdiri atas daun-daun sirih yang dirangkai serta sembilan puluh sembilan bunga kertas berwarna-warni dengan telur di atasnya.
Persumpahan dan perjanjian yang diungkapkan dalam Naskah Bo' Sangaji Kai, diakhiri dengan perkataan Rumata Mabata Wadu kepada para menteri-menterinya dan gelarang-gelarangnya mengenai persumpah dan perjanjian beliau kepada Allah swt, sebagaimana yang dipaparkan di dalam teks Bo'  berikuti ini: (Adapun)[21] perkataan Rumata Mabata Wadu, "Hai sekalian adat menteriku, sekalian gelarang-gelarang, aku menyaksikan perkataanku dan perjanjianku ini kepada Allah taala Tuhan yang Esa, dan kepada rasulullah penghulu kita Nabi Muhammad saw, dan kepada sekalian malaikat Allah. Maka barang siapa yang merombak dan melaluinya perjanjianku dengan kedua guruku sampai turun-temurunnya sebagaimana yang tersebut dalam bub[22] ini, itulah orang yang dimurkai Allah taala, dan rasulullah, dan segala malaikat, niscaya orang itu tiada mendapat selamat dunia dan akhirat.
Pada akhirnya sumpah dan perjanjian yang dilakukan oleh al-marhum Tuan Sri Sultan Abdul Kahir dengan kedua gurunya Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro, membuahkan hasil yang cukup luar biasa, yaitu dengan diperbaharui dan dilaksanakannya lagi perjanjian Al-marhum Sultan Abdul Kahir itu, oleh tuan kita Sri Sultan Abdul Hamid dengan turunan melayu Ince penghulu Abdul Rasul dan imam melayu Abdul Mukmin dan segala orang Melayu tua-tua, ungkapan ini  tertera pada (Held C­­)[23] di dalam Naskah Bo'  yang berbunyi:  Hijrat al-Nabi saw seribu dua ratus tiga pada dua likur hari bulan Zulkaidah hari Selasa[24], ketika itulah Duli Sri Paduka Tuan Kita Sri Sultan Abdul Hamid menitahkan juru tulis asi[25] menyalin daripada Bo' besar yang lama dari hal perjanjian dan persumpahan Al-marhum tuan kita sri sultan Abdul Kahir dengan gurunya Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro keturunan dari bangsawan Melayu Tanah Pagaruyung, dari sebab tatkala ini adalah titah perintah daripada tuan Gurandur dari Makasar yang sampai kepada Tuan Fetor Bima akan memasukan Kampung Melayu dan Bugis dan kampung Benteng di bawah perintah Tuan Fetor Bima. Maka dibaharuikan lagi perjanjian Al-marhum Sultan Abdul Kahir itu oleh tuan kita Sri Sultan Abdul Hamid dengan turunan melayu Ince penghulu Abdul Rasul dan imam melayu Abdul Mukmin dan segala orang Melayu tua-tua di dalam paseban paruga[26] suba[27] menguatkan persahabatan yang dulu itu pada hijrat Al- Nabi SAW Seribu Lima Puluh Lima di bulan Muharam.[28] Tatkala itu kedua gurunya Tuan Kita Sultan Abdul Kahir, yaitu Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro, setelah selesai tanah Bima di Islamkannya, maka  Dipertuan kita akan kembali di Mangkasar, sebab ada suruhan yang Dipertuan Kita Raja Goa menjemput kedua Datuk itu. Maka ditinggalkan kedua Anaknya yang bernama Ince Nara Diraja dan Ince Jaya Indra, tatkala Duli Tuan Kita bersumpah dengan kedua gurunya itu sebagaimana tersebut di Held B. [29]
Sehingga sumpah dan perjanjian yang dilakukan oleh al-marhum Sultan Abdul Kahir terhadap kedua gurunya, tetap diperbahurui dan tetap dillaksanakan oleh turun-temrunnya, sesuai dengan harapannya selesei bersumpah dan berjanji terhadap orang Melayu, wa Allahu khair al-syahidin.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari penjelasan diatas mengenai perjanjian yang tertuang dalam Naskah Bo' Sangaji Kai dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
  1. Perjanjian Raja Manuru Salisi dengan orang Belanda di dusun Cenggu pada tahun 1611 Masehi. Ketika Raja Bima menolong orang Belanda Melawan Orang Portugis.
  2. Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Khair Sirajuddin) dengan Raja Dompu di Raba Karumbu. Tentang status hukum para hamba yang pindah dari satu negeri ke negeri yang lain.
  3. Perjanjian Tureli Nggampo (Abdul Rahim) dengan Admiral Truitman di Kota Soma untuk saling menolong di kemudian hari.
  4. Perjanjian Raja Bima (Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dengan seluruh pegawai negeri. Tentang kewajiban para pegawai untuk melaksanakan tugasnya dengan rajin, jujur, dan mengabdi.
  5. Perjanjian Raja Bima dengan Raja Balanipa di Mandar agar senantiasa bersekutu dan tolong menolon, yang diikat setelah Makassar dikalahkan oleh Belanda.
  6. Perjanjian persahabatan antara Raja Bima (Sultan Abdul Kahir) dan ke-26 orang Bajo. Yang mengantarkan istri Raja Bima dari Makassar.
  7. Perjanjian di Oi Ule antara Sultan Abi'l Kahir Sirajuddin dan seluruh rakyat Bima. Rakyat berjanji akan kekal bertuan pada Sultan, dan Sultan menyatakan, "Aku menjadi nyawa dan kamu sekalian menjadi tubuh".
  8. Perjanjian Jeneli Parado dengan Gubernur Jendral Man Sekor (Joan Maetsuyker) di Batavia.: wakil raja Bima mohon ampun dan minta agar kapal-kapal dagang tidak dilarang singgah di Bima.
9.       Hak-hak Istimewa orang Melayu dan Bangsa-bangsa Melayu mempunyai hak untuk melaksanakan Upacara sirih puan, tanpa campur tangan dari orang lain dan Orang Melayu/Penghulu Melayu dan Anak-anak Melayu mempunyai hak untuk diangkat dan dimuliakan oleh rakyat Tanah Bima.

DAFTAR PUSTAKA

Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hal. xiii, 57-60, 69, 75 – Cet. 1
Drs. H.M. Arifin Noor. ISD (Ilmu Sosial Dasar). Pustaka Setia: Bandung 2007.



























[1] Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000),   hal. xii – Cet. 1
[2] Ibid.
[3] Ibid., hal. xiii
[4] Ibid., hal. xiv
[5] Held adalah transkripsi dari naskah Jawi berjudul "Buku Sejarah Swapraja Bima" milik kepala Hadat Bima H. Achmad, Rato Rasanae. Transkripsi tersebut dilakukan oleh Abdurachman Bendi dan Murtada atas suruhan Haji Achmad dan selesai pada tgl. 15 Juni 1955.
[6] Ibid., hal. xvi
[7] Judul ini ditulis oleh orang yang lain daripada penyalin fasalnya. Angka 1611 ditulis dengan angka Latin
[8] Maksudnya: Belanda
[9] Nskh: (bylq); Held: Bilik (kemudian: Bili).
[10] Bahasa Mbojo, bisa: "memotong" {tali}
[11] Nskh: di hadapan
[12] Perjanjian ini diikat oleh Sultan Abi'l Khair Sirajuddin
[13] Nskh tbh: mati.
[14] Nskh: disuruh
[15] Fasal-fasal berikut (Nskh: 40-42) terdapat dalam Held: 12-21.
[16] Nskh: (a-mr-l tr-tmn). Di atas nama ini tertulis dalam huruf Latin nama "Admiraal Truitman". Kata "admiral" ditulis (a-mr-a-l) dalam seluruh fasal ini dan ditranskripsi "amiral".
[17] Yaitu Raja Bicara Abdul Rahim. (pada masa itu Sultan Bima Abi'l Khair Sirajuddin sedang mendampingi Sultan Goa Hasanuddin dalam perang di perairan Buton). Kota Soma adalah banteng di sebelah barat Teluk Bima yang di sebut Asa Kota. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1667.
[18] Bahasa Mbojo, tampode, sejenis pohon.
[19] Pemakaian awalan ber- (daripada per-) berasal dari fungsi ganda awalan ra- dalam bahasa Mbojo (lih. Pendahuluan).
[20] Nskh: Beroleh.
[21] Held: Apabila
[22] Bub, lih, Bo'
[23] Pasal ini tidak terdapat dalam Nskh dan dikutip dari Held: 95-96; hanya dikutip permulaannya karena bagian selanjutnya hampir sama dengan fasal sebaelumnya.
[24] Yaitu hari Jumat, 14 Agustus 1789
[25] Asi yaitu Istana Kerajaan
[26] Paruga (Mb) Balai tanpa dinding (sejenis pendopo). Mis. Paruga suba : balai tentara
[27] Suba (Mb) tentara
[28] Yaitu bulan Februari-Maret 1645
Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000),  hal. 57-60 – Cet. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar