SEJARAH HUKUM KUHP
Hukum
pidana, merupakan bagian dari hukum publik. Hukum Pidana materil yang dapat
juga disebut dengan hukum pidana abstrak, dapat juga disebut dengan hukum
pidana dalam keadaan diam, yang sumber utamanya adalah KUHP[1][1].
Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan hukum Romawi yang dituangkan dalam Corpus
Iuris Civil berlaku hampir selama seribu tahun atau dalam pertengahan
abad ke-6 Masehi. Dari sinilah kemudian hukum Romawi mengembankan dirinya
meliputi wilayah-wilayah yang semakin luas di seluruh Eropa. Gejala ini
dinamakan penerimaan (resepsi) hukum Romawi.
Mulai
abad pertengahan banyak mahasiswa-mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara belajar
di Univrsitas-universitas di Italia dan Perancis Selatan (dimana Italia
merupakan pusat kebudayaan Eropah). Dimana pada era itu yang dipelajari hanya
hukum Romawi. Setelah mereka tiba di tanah airnya masing-masing maka Hukum
Romawi akan diterapkan apabila hukumnya sendiri tak dapat menyelesaikan
persoalan hukum mereka. Bahkan kadangkala hukumnya sendiri sengaja tidak
dipergunakan.Adanya kepercayaan pada hukum alam yang asasi, yang dianggap
sebagai suatu hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap waktu (zaman) dan
tempat, oleh karena itu mereka yang menerima hukum alam ini dapat melepaskan
dirinya dari hukum Romawi yang telah dipelajari di negara Italia dan Perancis
Selatan, maka biasanya mereka menyamakan hukum alam itu hukum Romawi.
Salah
satu negara di Eropah yang meresepsi hukum Romawi adalah Perancis.Hal ini
dikarenakan dalam sejarahnya Perancis pernah ditaklukan oleh Caesar,
kira-kira 50 tahun sebelum Masehi. Kemudian dalam abad ke-5 sesudah Masehi,
timbullah perubahan dimana bangsa Germania memasuki Gallia. Mula-mula
bangsa Wetsgota yang menduduki barat daya Gallia.
Pada
abad ke XVIII ada dua peristiwa yang menggemparkan, yang mempunyai pengaruh
besar terhadap opni publik yaitu mengenai pedagang JEAN CALAS (1762) di
Toulouse dijatuhi hukuman mati. VOLTAIRE telah menggugatnya dan meminta supaya
diadakan pemeriksaan revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada tahun 1765, dimana
dinyatakan bahwa JEAN CALAS tidak bersalah dan putusan yang pertama dibatalkan;
tetapi nyawa JEAN CALAS sudah tidak ada lagi;Peristiwa kedua yang terjadi pada
waktu 1764, adalah tulisan BECCARIA “Dei delitti e delle pene” yang
memprotes pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar peri kemanusiaan dan kejamnya
hukuman-hukuman. Kedua peristiwa itu, di samping memberikan anjuran pemakai
akal budi pada zaman RENAISSANCE (Aufklarung), sangat banyak pengaruhnya
terhadap pembaharuan hukum pidana.
Pada
tahun 1791 setelah Revolusi Perancis terbentuk CODE PENAL yang pertama yang
dalam banyak hal dipengaruhi oleh jalan pikirannya BECCARIA. Pada tahun 1810
dalam pemerintah NAPOLEON yang berlaku hingga saat ini, Code Penal tersebut
lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari seorang utilist Inggris yang bernama
BENTHAM. Hukum Pidana ini dalam banyak hal masih ditujukan untuk menakut-nakuti,
terutama terlihat dari ancaman pidananya.
Di
Belanda mulai ada gerakan untuk membuat perundang-undangan hukum pidana pada
tahun 1795, baru tahun 1809 terwujud : CRIMINEEL WETBOEK VOOR HET KONINGKRIJK
HOLLAND dalam pemerintahan LODEWIJK NAPOLEON, yang merupakan kodifikasi umum
yang pertama yang bersifat Nasional.
Penjajahan
Perancis tahun 1811, yang memberlakukan Code Penal Perancis sebagai
penggantinya sampai tahun 1886. Pada masa ini C.P. tersebut banyak mengalamai
perobahan-perobahan terutama mengenai ancaman pidananya yang kejam menjadi
diperlunak. Pidana penyiksaan dan pidana “cap-bakar” ditiadakan. Salah satu
peristiwa penting yang terjadi ketika itu ialah penghapusan pidana mati (dengan
Undang-Undang 17 September 1870 stb. No. 162) dalam Wvs, sedang di WvMS jika
terjadi pada waktu damai dan tidak dilakukan kepada musuh. Pada tahun 1881
hukum pidana nasional Belanda terwujud dan yang mulai berlaku pada tahun 1886,
yang bernama “WETBOEK VAN STRAFRECHT” sebagai pengganti Code Penal warisan dari
Napoleon
Sejarah
Hukum Pidana di Indonesia
Membicarakan
sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan
saat ini. Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan dari bangsa asing.
Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di Negara ini,
khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai
peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum
pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan
sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Hukum
pidana menurut van hammel adalah “semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang
dianut oleh suatu Negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum yaitu dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada
yang melanggar peraturan tersebut”. Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui
bagaimana suatu hukum hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan
pada wilayah tertentu. Sejarah hukum punya pegangan penting bagi yuris pemula
untuk mengenal budaya dan pranata hukum.
Hukum
Eropa Continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan perpaduan antara
hukum Germania dan hukum yang berasala dari hukum Romawi “Romana Germana”.
Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan
kala dan waktu. Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi
beberapa periode, yakni:
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da
Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum
pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat
lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak
mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata
(privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat
dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian
berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan
secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa
pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang
tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun
melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di
wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum
adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat
dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja
Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana
adat Sumatera Selatan,5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat
Bali.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. MasaVereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa
Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya
beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC
sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda
yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan erdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.7 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan erdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.7 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC,
yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana
yang terjadi di peradilan-peradilan adat.8 Alasan VOC mencampuri urusan
peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
i.
sistem pemidanaan yang dikenal dalam
hukum pidana adat tidak
memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati
peraturan-peraturan;
memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati
peraturan-peraturan;
ii.
sistem peradilan pidana adat
terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena
permasalahan alat bukti;dan
iii.
iii. adanya perbedaan pemahaman
mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana
yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hokum
pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC
perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal.
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem
Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon
itu berisi antara lain mengenai system pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar,
dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab
Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.10 Pada tanggal 31
Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah
Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur
Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah
koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum
yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b. Masa Besluiten Regering (Tahun
1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810,
Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap
koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada
kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering,
yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak
dan tertinggi atas daerahdaerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada
masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa
mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk
mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang
ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia
Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap
memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak
mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de
Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani
hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).11 Dengan adanya keterangan
ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana
baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum
pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke
Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen
van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan,
Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van
Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de
Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
c. Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan
system pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi
monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya
perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur
tangan dalam pemerintahan dan prundangundangan di wilayah jajahan negara
Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2),
dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah
jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan
pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui
undang-undang. Halhal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan
harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang”.12 Dengan ketentuan
seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan
di Indonesia berkurang. Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan tidak
semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui
mekanisme perundangundangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat
bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan
adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan
dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD
Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa
kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
- Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
- Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang- undang Hukum Pidana Eropa.
- Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
- Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
- Wetboek van Strafrechtvoor Netherlands-Indieatau Kitab Undang-udang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling
(1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling
Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan
melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan
pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera
Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet
tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin
jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian
golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka
hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands- Indie) tetap
diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163
Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda
semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e. Masa Pendudukan Jepang
(1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama
3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai
Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih
tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hokum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih
tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hokum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
3. Masa Setelah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana
dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat
konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi
UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat
(Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan
konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD
1945. a. Tahun 1945-1949 Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai
negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan
tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi system hokum nasional yang
sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas
dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya.
Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan
cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial
menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat
dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu
pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada
sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu,
untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hokum nasional belum
dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan
agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini
menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara
adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia
belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala
peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan
diberlakukan sementara.
Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia
mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hokum
colonial menjadi tata hukum nasional. presiden Sukarno selaku presiden
pertama kali mengeluarkan kembaliPera turan Presiden Nomor 2 Tahun
1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal,
yaitu:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan
yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut.
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus
1945. Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu
17 Agustus 1945. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan
colonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara
tegas menyatakan: Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik
Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan
hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan titik tonggak waktu
penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti
semua peraturan hokum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer
Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
(NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2
undangundang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini
diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag. Secara lengkap
bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut: “Semua peraturan
hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
dulu (Verordeningen van het milite gezag) dicabut”.16 Pemberlakuan hukum pidana
Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan
fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure
memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun
secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan.
Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara
boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi
kolonialismenya di Indonesia.
a. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda
mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge
Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa
Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku
tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang
diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut
ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya
pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP
agarperaturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud
ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan
hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan
ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di
Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut
masa dualism KUHP.17.
b. Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat,
sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari Negara Belanda.
Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan
diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan
peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan: Peraturan-peraturan
undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat
Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri,
selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata
usaha atas kuasa Konstitusi ini.18 Dengan adanya ketentuan ini maka praktis
hokum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van
Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat
disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan
dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda dating kembali ke Indonesia setelah
kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
c. Tahun 1950-1959 Setelah negara Indonesia menjadi negara
yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950
Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka
konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai
peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hokum pidana masa sebelumnya pada
masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama
dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas
kuasa Undang Undang Dasar ini. Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara
ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa
sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai
akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU
Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku
dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum
Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia
(Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak
beralasan.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
d. Tahun 1959-sekarang Setelah keluarnya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959, yang salah
satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.21
Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hokum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.22 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidanabagigolongannon-Eropa. Kenyataan ini dirasakan. Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918. Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan dalam bagan berikut. Tahun Peristiwa Selisih Waktu 1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun 1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun 1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total selisih waktu 136 tahun.
satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.21
Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hokum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.22 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidanabagigolongannon-Eropa. Kenyataan ini dirasakan. Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918. Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan dalam bagan berikut. Tahun Peristiwa Selisih Waktu 1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun 1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun 1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total selisih waktu 136 tahun.
D. Problematika Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia (Wetboek van Strafrecht) Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa
hukum pidana Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda
melakukan penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai
bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka selayaknya
hokum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun
idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
hokum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun
idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 59
tahun lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hokum yang
bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana positif (KUHP)
Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara
politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.23 Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.23 Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
2. Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab
Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918.
Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung
sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur
lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan
sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP
ini. Namun demikian, perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari
KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami
perkembangan.24
3. Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van
Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini
menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.25 KUHP yang beredar
di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa
pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto
Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks
resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia.
Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang
berbeda-beda.26
4. KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang
berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini
berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene
David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini
dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme
(individualism, liberalism, and individual right)27. Hal ini sangat berbeda
dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika
kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan
kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan
baru.
5. Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah
dasar28 dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan
pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain:
a. Pidana KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman
pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan
tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat
kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada
perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga
lebih kaku sehingga tidak member keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana
yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis
pidana, pelaksanaan pidana pidana mati,29 pidana denda,30 pidana
penjara,31 dan pidana bagi anak.
b. Tindak pidana Dalam menetapkan dasar patut dipidananya
perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan
undangundang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan
tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. Disamping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada
sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).33 KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan
pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidanatindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa
perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. Disamping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hokum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada
sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).33 KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan
pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidanatindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa
perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c. Pertanggungjawaban pidanaBeberapa masalah yang muncul
dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asaskesalahan
(culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya
disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan
WvS.34 Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang
dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana
karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan
asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku
(memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang
terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47)
adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak
mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya
menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya
adalah anak di bawah umur 16 tahun.35 Selain itu, KUHP tidak
menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
[1][1] Drs. Adam Chazawi, S.H. PELAJARAN
HUKUM PIDANA, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Hal. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar